Jurnalisme Damai Bukan Bodrex

Sirikit Syah

Bodrex dianggap sebagai obat untuk mengatasi hampir segala jenis penyakit. Di kalangan wartawan, ada pengamat yang dijuluki pengamat bodrex, karena dia selalu siap mengomentari segala macam persoalan seperti ekonomi, politik, budaya, HAM, dll. Banyak jurnalis enggan membuka diri terhadap pendekatan Jurnalisme Damai karena tidak percaya bahwa JD dapat menyesaikan semua persoalan dan obat segala konflik. Sikap skeptis, bahkan sinis mereka, pada dasarnya berpijak pada sesuatu yang benar, bahwa ‘tidak mungkin Jurnalisme Damai menyelesaikan semua persoalan’. Lalu, siapa yang pernah menjanjikan demikian?

Awal bulan ini (Agustus), dua belas wartawan senior di negara-negara Asia berkumpul di Taiping, Malaysia, membahas penerapan JD di wilayah liputan mereka yang sarat konflik. Wartawan Sri Langka bersikeras bahwa memakai kosa kata emosional dan ‘labelling’ tetap penting (misalnya julukan hypocrit/munafik untuk politisi). “Pembaca setuju. Memang begitulah kenyataannya. Tak ada yang protes.”

Saya dan Bunn Nagara, Wakil Pemred The Star Malaysia, berpendapat bahwa istilah-istilah subyektif dan emosional seeprti itu boleh saja dipakai dalam tulisan opini/artikel, tetapi tidak untuk news (berita).

Wartawan Pakistan yang terkesan telah menerapkan Jurnalisme Damai malah mengimbau untuk tidak menyebutkan identitas etnik, ras, agama. “Di negara kami, konflik Islam-Hindu jarang kami sebut, kami ganti dengan ‘konflik antar komunitas’. Demikian pula India-Pakistan dalam konflik Kashmir, kami sangat membatasi propaganda kedua pihak pemerintah.” Wartawan India menolak gagasan itu, “Memangnya kita membodohi siapa? Ketika kita menulis ‘pertokoan warga minoritas diserang kelompok mayoritas’, setiap pembaca tahu siapa yang kita maksud. Untuk apa disembunyikan?”

Selaku narasumber saya menengahi dengan mengatakan bahwa identitas kelompok perlu disebut bila itu signifikan. Untuk kasus kejahatan biasa (crime), identitas etnis/agama pelaku dan korban tak perlu disebut. Saya contohkan, penyebutan identitas Jawa Islam dan Ambon Kristen dalam peristiwa Ketapang-Jakarta, 22 November 1998 (antara lain dimuat secara eksplisit oleh Time pada 8 Desember 1998), menjadikan pertikaian bersambung ke peristiwa Idul Fitri berdarah di Ambon, Februari 1999, yang diidentifikasi sebagai konflik agama. Konflik ini berlangsung hingga kini dan menjangkau wilayah Maluku, Maluku Utara, dan Sulawsi Tengah (Poso). Kenyataannya, konflik itu dilatarbelakangi kehidupan premanisme di wilayah perjudian, dan tak ada sangkut pautnya dengan sentiman etnik/agama.

Ada kesalahpahaman atas Jurnalisme Damai, yang dikira menyembunyikan fakta. Sesungguhnya, JD tidak menyembunyikan fakta, tetapi memilih fakta dengan bijaksana sesuai misi/tujuan perdamaian. Lagipula, pendekatan jurnalisme mana yang tidak memilih fakta? Fakta adanya bom meledak di hotel Marriot misalnya, bisa ditulis dengan judul ‘Bom Meledak, JI Diduga Berada di Baliknya’ atau ‘Bom Meledak, Beberapa Organisasi Islam Mengutuk Pelakunya’.

Ada juga yang mengira JD berbeda dengan standar jurnalisme umumnya. Sesungguhnya, JD adalah penegasan dari standar dan etika jurnalistik yang telah berlaku. Meskipun demikian, ada tiga butir ‘Kriteria Berita’, yang perlu disesuaikan dengan misi JD. 1) Dalam JD, kriteria ‘ketokohan’ dapat diabaikan, mengingat suara rakyat (non-elit) sama pentingnya. 2) Unsur ‘magnitude’ juga kurang sesuai, karena peristiwa kecilpun patut diperhitungkan, terutama bila bersemangat damai. Di India, menurut wartawan peserta work shop, kisah keluarga Muslim melindungi keluarga Hindu dari amukan warga Muslim di tengah bentrokan berdarah antar agama, akan dia angkat, meskipun dia menuai kecaman dari komunitasnya sendiri (ini mengingatkan adanya orang Dayak menyembunyikan tetangganya orang Madura dari sasaran warga Dayak –atau sebaliknya- di tengah perang antar suku yang banyak makan korban jiwa). 3) Nilai ‘berita mesti kontroversial’ mesti dihindari oleh wartawan JD yang mengemban misi perdamaian.

Selain kriteria berita itu, beberapa kaidah jurnalistik juga dimodifikasi dalam JD, yaitu: a) Cover both sides – dalam JD itu tidak cukup, karena fokus pada dua pihak yang bertikai akan memperuncing konflik. Cover many sides sangat dianjurkan (contoh: di Aceh, narasumber tidak cukup GAM dan TNI, tetapi juga para investor, buruh pabrik, pegawai pemerintah, pedagang kecil, transmigran asal/keturunan Jawa, mahasiswa, LSM, dll, juga merupakan narasumber penting. Semakin multi angles, semakin dekat jurnalis ke akar konflik, dan semakan terbuka kemungkinan solusi; b) Bad news is a good news – dalam JD berita yang mengandung harapan, optimisme, positif, mendapat tempat; c) Obyektif – dalam JD obyektivitas dapat dikalahkan tuntutan fairness (contoh: di era Orba, liputan televisi didominasi warna kuning adalah cerminan obyektif, karena memang yang tampak di realita adalah kampanye Golkar dimana-mana. Namun obyektivitas ini dapat dikesampingkan dengan liputran PPP atau PDI meskipun skalanya kecil di kampung-kampung dan tidak menonjol. Ini tidak obyektif dan terkesan ‘membesar-besarkan sesuatu yang kecil’, namun di sinilah azas fairness (keadilan) berlaku, yakni pemberian kesempatan pada semua partai untuk ditampilkan –partai gurem sekalipun.

Di tengah keragu-raguan para peserta seminar-workshop tentang Peace Journalism yang diselenggarakan oleh AMIC (Asian Media Information & Communication Centre) itu, saya menyimpulkan bahwa JD bukan bodrex, bukan satu-satunya cara terbaik untuk meliput konflik. Itu hanya cara terbaik bila kita memiliki misi perdamaian di sebuah wilayah yang bertikai. Bila jurnalis hendak mengungkap skandal/kasus korupsi misalnya, pendekatan Investigative Reporting tentu lebih dianjurkan. Bila ingin menghibur dan memperkaya rasa bahasa pembacanya, jurnalis dapat menggunakan Jurnalisme Sastra. Untuk mengungkap kronologi peristiwa pembunuhan, gunakan Jurnalisme Presisi, bukan JD.

Jacob Oetama telah memperkenalkan Insight Journalism (Jurnalisme Makna), dan tak seorangpun mempertanyakan ‘siapa yang berhak memberi makna?’. Apakah kita percaya kepada makna wartawan/redaktur? Jacob Oetama tidak sendirian, Martin Bell, wartawan perang BBC sudah lama mengajak wartawan untuk membuka hatinya dengan Journalism of Attachment, di mana subyektivitas pelapor disahkan. Meski semula dicemooh, banyak wartawan Eropah kini mengikuti jejak Bell (simak laporan-laporan mereka di konflik Palestina-Israel dan Perang Irak).

Bagaimanapun, hanya bila wartawan telah memiliki bekal pendidikan jurnalistik yang memadai, Jurnalisme Makna dan Jurnalisme Keterikatan dapat diterima. Di Indonesia sekarang, konsumen media masih berprasangka pada praktisi pers yang baru menikmati kebebasannya.

2003

Tentang LKM Media Watch
Mass media are watchdogs. But who watch the media? Let's do it together. Watch this very powerful entity, for better journalism, better Indonesia, better world. http://www.sirikitsyah.wordpress.com

Tinggalkan komentar