KEBEBASAN PERS YANG BERKEPENTINGAN

(Surat dari London)

Sirikit Syah

Banyak yang ingin saya ceritakan kepada kawan di Indonesia, tetapi untuk kali ini saya hendak mengabarkan bagaimana kebebasan pers menjadi bumerang bagi bangsa Barat (baca: Amerika Serikat dan Inggris). Tentu saja ini erat kaitannya dengan ‘perang terhadap Taliban’ (demikian saya lebih suka menyebutnya, daripada mengikuti istilah Amerika ‘War Against Terrorism’, karena tidak semua orang Taliban, apalagi Afghanistan, adalah teroris).

                Ketika pemerintah Inggris menyerukan kepada media massa agar tidak menyiarkan ulang atau merelay siaran Al-Jazzera TV yang memuat pidato para tokoh Taliban, bukan hanya para pemimpin redaksi dan news director yang terkejut. Saya terutama. Bagi saya orang Indonesia, negara dunia ketiga yang kerap dikritik habis oleh Barat karena tidak menerapkan kebebasan pers (sebelum 1998), ini merupakan lelucon yang tidak lucu, bahkan menjijikkan. Bagaimana Barat yang begitu mengagung-agungkan ‘freedom of the press’ menjadi munafik dengan bermaksud ‘menyensor’ media massanya sendiri demi kepentingan politik pemerintahnya.

                Untunglah, para pemimpin media massa di Inggris tidak menerima imbauan pemerintah, dan tetap menyiarkan apa yang mereka anggap perlu untuk disiarkan. Memang tidak ada paksaan, apalagi hukuman. Tetapi imbauan dan upaya menyensor itu telah meninggalkan cacat di mata saya atas filosofi ‘freedom of the press’ yang lahir dan dibesarkan oleh Barat.

                Bila ditelusuri, memang bukan pertamakali ini Amerika Serikat, terutama, ‘menodai’ filosofi kebebasan pers mereka sendiri. Pada tahun 1991 di saat Perang Teluk, CNN menayangkan wawancara khusus dengan Presiden Irak Sadam Hussein. Siaran itu berdampak luas bagi penerimaan/pemahaman dunia tentang latar belakang Perang Teluk. Setidaknya, ada suara lain selain suara Amerika Serikat. Namun CNN dikecam oleh pemerintah AS sebagai pengkhianat. Pemerintah AS tentu sangat dirugikan dengan ditayangkannya penjelasan Sadam Hussein, yang dalam praktik jurnalistik merupakan syarat utama dan disebut ‘voice from the other side’ atau ‘the balance’. (Catatan: mungkin karena pengalaman itu kali ini CNN sangat berorientasi pemerintah AS. Judul siaran beritanya saja sangat tendensius dan berbau propaganda AS: “America Under Attack” atau “The War Against Terrorism”. Supaya adil, seharusnya saat Afghanistan dibom habis-habisan, CNN mengganti judulnya dengan “Afghanistan Under Attacks”).

                Tahun 1791 dikeluarkan Amandemen Pertama Konstitusi AS yang intinya berisi larangan bagi Kongres untuk membuat undang-undang, hukum, atau peraturan apapun yang dapat mengancam kekebasan berpendapat dan kebebasan pers, dst. Namun hanya 7 tahun setelah itu, Kongres AS mengkhianati Amandemen Pertama itu dengan menelurkan Sedition Act, yang dapat menghukum siapapun yang mengkritik presiden atau pemerintah dengan hukuman penjara atau denda yang besar (umumnya yang terkena para Republikan). Gelombang penolakan dari para penerbit dan pemimpin redaksi surat kabar akhirnya membuat UU itu dicabut pada tahun 1800.1

                Saya menyimpulkan peristiwa-peristiwa ini sebagai ‘kebebasan pers yang berkepentingan’. Saya bahkan berteori bahwa ‘there is no such freedom of the press’. Sesungguhnya tak ada kebebasan pers. Selain adanya kepentingan politik dan ekonomi (kekuasaan iklan, misalnya), pers (terutama di AS dan Inggris) terancam oleh hukum-hukum sipil dan kriminal (criminal and civil law) yang mengharuskan pers berhati-hati bila tak ingin dituntut di pengadilan dengan hukuman yang sangat berat atau denda yang dapat membangkrutkan perusahaan media massa. Di Inggris, bahkan ‘the Right to Reply’ masuk dalam UU Pertelevisian yang diterapkan di semua negara Eropah anggota European Union, dan masih banyak lagi UU dan peraturan yang membatasi kebebasan pers.

                Ketika saya kemukakan hal ini dalam sebuah perdebatan di kelas dengan topik ‘sensor atas siaran TV Al-Jazeera’, dosen saya terkesima dengan pendapat saya itu. Saya katakan, ‘menyensor kampanye dan propaganda Taliban melalui televisi, terutama yang berisi teror dan ancaman terhadap masyarakat luas, adalah hal yang memang sebaiknya dilakukan. Tetapi keluar dari ‘mulut’ pemerintah AS dan Inggris, itu seperti ‘unfunny joke’.” Dosen saya kemudian menantang, “Seandainya Anda direktur pemberitaan televisi, apa yang Anda lakukan?” berikut ini jawaban saya:

                “Hubungan antara media massa dan terorisme sudah menjadi perdebatan serta bahan studi selama bertahun-tahun. Saya dalam posisi ‘anti bantuan terhadap penyebaran informasi yang berupa teror atau yang menteror masyarakat’. Tidak seharusnya kita membantu teroris atau siapapun menakut-nakuti masyarakat. Dalam kasus Taliban vs AS, saya tidak akan menyiarkan ancaman/teror pimpinan Taliban tentang bahaya bagi mereka yang pergi dengan pesawat terbang atau tinggal di gedung-gedung bertingkat. Tetapi penjelasan Taliban berupa klarifikasi atas tuduhan AS (bahwa mereka teroris dan pelaku pengeboman WTC) wajib disiarkan, sebagai ‘the voice of the other side’. Pada saat yang sama, ‘teror’ oleh pemerintah AS terhadap penduduk Afghanistan berupa ancaman pengeboman terus menerus, atau kampanye ‘the good/AS and the bad/Taliban’ juga tidak akan saya siarkan.”

                Dosen dan kawan-kawan di kelas kelihatan bingung dengan penjelasan saya, karena saya tidak jelas memihak kepada siapa (apalagi saya satu-satunya perempuan berjilbab di kelas, yang jelas menunjukkan identitas saya). Mereka sulit mengerti bahwa keberpihakan –bagi saya- bukanlah kepada siapa, tetapi lebih kepada substansi (apa yang dilakukan). Tetapi argumentasi saya tentang adanya praktik ‘kebebasan pers yang berkepentingan’ sulit dibantah oleh siapapun. Adanya imbauan sensor yang menjadi pembicaraan luas di kalangan masyarakat media, adalah satu buktinya.

Bagaimanapun, saya selalu percaya bahwa pers memiliki peranan penting dan kekuasaan yang besar. Mereka (mulai dari para jurnalis di lapangan, para editor di ruang redaksi, sampai pemimpin redaksi di kantor pusat) punya kewenangan dan kekuasaan memilih siapa yang diwawancarai, gambar apa yang diambil, kalimat mana yang harus dibuang, fakta apa yang harus ditekankan dengan dimuat/ditayangkan berulang-ulang, fakta mana yang dibatalkan pemuatan/siarannya, dan seterusnya.

Seorang kawan di kelas mendebat saya dengan pemikiran yang cukup jitu, “Anda tak dapat menggunakan kekuasaan itu kalau siaran itu langsung.” Tentu saja bisa. Meskipun siaran langsung, ketika memasuki bagian yang tak dikehendaki, kabel microphone bisa dicabut, gambar bisa diblack-out. Tahun 1998 ketika di tengah chaos bangsa Buyung Nasution berbicara keras terhadap Harmoko (waktu itu ketua DPR/MPR) sambil menuding-nudingkan jarinya di hadapan khalayak dan kamera televisi, suaranya tiba-tiba hilang (di layar SCTV). Saya salah seorang dari ribuan pemirsa yang menelepon saat itu juga, dan karena saya ‘mantan orang dalam’ saya mendapat informasi bahwa kabel suara memang dicabut, karena kata-kata Buyung tak pantas ditayangkan. Saya sepenuhnya maklum, waktu itu Soeharto belum jatuh dan SCTV sudah cukup (atau terlalu berani) dalam siaran-siarannya pada masa itu.

2002


1 Donna A. Demac dan John Downing, The Tug-of-War, dalam John Downing, Ali Mohammadi, Annabel Sreberry-Mohammadi, Questioning the Media, A Critical Introduction (Sage Publications, California, 1990)

Tentang LKM Media Watch
Mass media are watchdogs. But who watch the media? Let's do it together. Watch this very powerful entity, for better journalism, better Indonesia, better world. http://www.sirikitsyah.wordpress.com

Tinggalkan komentar