Pers Pastilah Berpihak, dan Itu Tidak Apa-apa

Akhir pekan ini, tak bisa tidak, kita mesti membahas peristiwa serangan Israel ke Gaza dan bagaimana media massa memotretnya. Ini menjadi perdebatan di berbagai komunitas pers dan para pengajar jurnalistik. Konvensi dan paradigma jurnalistik yang lama dianut, diuji.

Secara teori, pers tak boleh berpihak. Cover both sides, balance, adalah istilah-istilah yang mesti dihafal di luar kepala oleh para mahasiswa jurnalistik dan diterapkan oleh para wartawan. Namun di lapangan, situasinya berbeda. Ada kalanya wartawan berada dalam situasi, dimana melakukan cover both sides malah memperuncing konflik (mempetakan konflik ke dalam dua kubu yang berseberangan). Ketika DOM di Aceh, meliput kubu ABRI vs GAM adalah contohnya. Di Timtim tahun 1999, meliput kubu pro-integrasi vs pro-kemerdekaan adalah contoh yang lain. Dalam situasi semacam ini, wartawan mesti melakukan cover many sides, many angles: ada pihak ketiga yang netral dan tak terlibat konflik, pihak berwenang, pengamat, dan terutama: mereka yang terkena dampak konflik. Baca pos ini lebih lanjut