Haramnya Infotainment

Belakangan ini, di dunia media massa, khususnya pertelevisian, ramai dibicarakan fatwa NU yang mengatakan “Infotainment itu haram.” Pro kontra segera bermunculan. Yang pro adalah golongan yang sudah muak dengan program infotainment di televisi kita, yang kontra adalah mereka yang menganggap fatwa itu mengancam kebebasan pers dan kebebasan bereskpresi.

Ketika dirawat di RS selama sepekan, tokoh publik Emil Salim terpaksa mengkonsumsi infotainment belasan kali sehari. Pilihannya cuma mematikan televisi. Bukannya dia penggemar televisi, tetapi Pak Emil memang sengaja ingin tahu. Maklum, bila tidak sedang terbaring di RS, dia tentu sibuk atau memilih membaca buku daripada menonton televisi. Begitu TV dinyalakan, Emil Salim mendapati, dari usai subuh sampai malam hari, setiap sekian jam ada tayangan infotainment. Ganti ke saluran manapun, ketemu infotainment. Selepas dari RS, Emil Salin menyurati Menkominfo Sofyan Djalil, “Selama sakit dan seminggu menonton televisi, saya menjadi bodoh.”

Mengapa NU meng”haram”kan infotainment? Karena isi infotainment cenderung ghibah (membicarakan aib orang lain). Fatwa NU tidak salah, dan sama sekali tidak mengancam kebebasan berekspersi atau pers. Satu-satunya yang terancam adalah bisnis gosip dan keuntungan para PH produser infotainment. Fatwa NU tidak mengharamkan program infotainment, melainkan isi infotainment. Program infotainment, sebagaimana makna katanya, adalah informasi yang menghibur, tentu baik saja. Apalagi salah satu fungsi pers dan media siaran adalah menghibur rakyat. Infotainment bisa menghibur tanpa melakukan ghibah, bukan?

Intelektual NU, Prof. Dr. Said Agil Siraj, dalam sebuah wawancara di televisi mengatakan bahwa infotainment yang bermuatan provokatif, menyesatkan, memanas-manasi, membuka aib, sama bahayanya dengan pornografi. Bisa diterima. Bayangkan, Gusti Randa dan Nia Paramita menjual aib rumah tangganya, yang sangat berpotensi dianggap baik dan benar oleh para penggemarnya (atau penggemar sinetron), kemudian ditiru. Boleh saja suami istri bertengkar, bercerai, berteman lagi, bermitra dalam menjual kisah kehancuran rumah tangganya. Sebetulnya, apa yang lebih rendah dari ini? Menjual martabat dan harga diri untuk dikonsumsi sekian ratus juta penonton TV di Indonesia?

Entah ini kabar menggembirakan atau tidak, namun Trans Corporation, pemilik Trans TV, telah membeli 49% saham TV7 yang dimiliki Kelompok Kompas Gramedia. Bagi KKG, menurut Jacob Oetama, “Kami bertekad meningkatkan kualitas program.” Bagi Trans TV, membendung persaingan dengan 9 statiun TV nasional lainnya. Pertanyaan kita adalah, apakah program-program di Trans akan lebih meningkat sesuai citra KKG selama ini, misalnya dengan menghapus program Fenomena dan mengurangi program Insert? Atau justru TV7 yang selama ini lebih bernuansa pendidikan akan diubah menjadi lebih “seksi”, ditambah program infotainmentnya, dipoles dengan gincu dan pernik-pernik hedonis lainnya?

Delapan tahun reformasi, delapan tahun kebebasan pers, cukup menggembirakan melihat perkembangan kualitas media cetak. Namun betul-betul memprihatinkan dan mencemaskan melihat perkembangan program dan produksi siaran televisi kita. Demi generasi masa depan yang lebih cerdas dan bermartabat, kita perlu mengawasi dan mengkritisi program televisi yang masuk ke rumah-rumah kita dengan cuma-cuma.

Sirikit Syah, 2006

Tentang LKM Media Watch
Mass media are watchdogs. But who watch the media? Let's do it together. Watch this very powerful entity, for better journalism, better Indonesia, better world. http://www.sirikitsyah.wordpress.com

Tinggalkan komentar