Bahasa Media dan Pengaruhnya pada Masyarakat

Artikel Kolom
antaranews.com

Media massa dikenal sebagai pilar keempat demokrasi. Tapi tak banyak yang tahu bahwa media massa juga pilar keempat pendidikan. Pendidikan memiliki pilar-pilar utamanya: keluarga, sekolah, lingkungan. Pendidikan generasi muda dimulai dari dalam keluarganya, terutama dalam membangun karakter. Kemudian, dia mendapatkan pengayaan pengetahuan dari pendidikan formal di sekolah. Namun, lingkungan sebagai pilar ketiga tak sedikit membentuk bagaimana seseorang menjadi.

Lalu, dimana letak posisi media massa? Seberapa pentingkah media massa dalam membentuk pribadi seseorang dan –secara lebih luas- membangun sebuah bangsa? Mari kita berfokus pada bahasa, ya … karena ini bulan bahasa. Pertama-tama kita mesti mensyukuri adanya sumpah ketiga dalam Soempah Pemoeda, yaitu “Berbahasa Satoe, Bahasa Indonesia”. Sumpah ini menyatukan kita semua, beratus ras dan etnis dan bahasa. Dengan Bahasa Indonesia rakyat Aceh dapat berkomunikasi dengan rakyat Papua yang jaraknya ribuan kilometer. Orang Batak dapat bercengkerama dengan orang Madura dengan lelucon yang sama.

Di ranah media massa, bahasa adalah alat utama. Bahasa yang dipergunakan di dunia media massa kita tentunya bahasa Indonesia. Lebih sempit lagi, media massa menggunakan ragam Bahasa Indonesia Jurnalistik. Apa pentingnya mencermati bahasa Indonesia di media massa kita? Karena media massa adalah pilar keempat pendidikan, dan bahasa dapat dikatakan sebagai tulang punggung pendidikan. Melalui bahasa media massa, khalayak belajar dan berkembang menjadi sosok yang berkepribadian luhur dan –dalam skala besar- masyarakat menjadi bangsa yang bermartabat.

Namun, bisa juga sebaliknya yang terjadi. Kita belajar bahasa yang keliru. Tak jarang kita saksikan bahasa-bahasa yang janggal bahkan menyesatkan. Sebuah siaran televisi pernah menggunakan kalimat ini: “Tampak di layar kita saksikan, jenazah menuju ke pemakaman ….” (saat meninggalnya Gus Dur). Tentu maksudnya “mobil jenazah” sedang menuju ke pemakaman. Ada juga yang menyiarkan “Beberapa buah mayat kembali ditemukan” (saat gempa bumi di Padang). Di dunia siaran, kesalahan semacam ini cenderung dimaklumi oleh insan media dan masyarakatnya, karena pelaporan dilakukan secara langsung. Dalam siaran langsung, reporter atau presenter senior sekalipun, mengalami masa “nervous” dan “panik”. Error tak dapat dicegah dan tak dapat dikoreksi. The mistake has been done.

Di dunia media cetak, proses pemuatan cukup panjang dari sejak laporan ditulis, diedit, diverifikasi, ditata (lay out), dan dicetak kemudian diterbitkan. Kesalahan seharusnya dapat dicegah. Namun kenyataannya, masih banyak kesalahan. Dalam sebuah berita olah raga, misalnya, ada judul “Kesebelasan A Dipermalukan atas Kekalahannya dari Kesebelasan B”. Perhatikan kata “Dipermalukan”. Kekalahan dalam dunia olah raga adalah sesuatu yang biasa, wajar. Seharusnya tak ada yang merasa dipermalukan atau mempermalukan. Kata-kata ini menurunkan semangat sportivitas.

Memang rubrik olahraga termasuk yang paling kreatif dan dinamis dalam berbahasa. Secara psikologis, semangat sportivitas dunia olahraga membuat para obyek peberitaan maupun para pembaca tidak menganggap serius kata-kata seperti “dilibas”, “digunduli”, “dijebol gawangnya”, “dilucuti”, “merumput”. Sulit membayangkan kata-kata itu muncul di halaman politik atau ekonomi. Toh, kata “dipermalukan” terlalu kreatif sehingga sampai ke ujung ekstrim negatif: bernada melecehkan dan melemahkan sportivitas.

Di ranah berita politik kata-kata dimainkan secara lebih manipulatif, sehingga pelajaran Bahasa Indonesia Jurnalistik di kelas-kelas komunikasi harus memasukkan bahasan “politik bahasa” selain “bahasa politik”. Di masa Orde Baru, bahasa dipolitisir sedemikian rupa sehingga menjadi eufimisme (pelunakan makna). Rakyat kelaparan oleh media disebut masyarakat kurang gizi. Media juga tak mengenal kata desa miskin. Yang ada desa tertinggal. Bahkan aktivis diculik aparatpun, diistilahkan ‘diamankan’.

Di era reformasi, terjadi pengerasan bahasa media. Semua kosa kata keras tumpah ruah. Kata-kata seperti “korupsi”, “manipulasi”, “banjir darah”, “jihad ke Ambon”, “bodoh”, “malas”, “mencekam”, “sadis”, dll, memenuhi halaman-halaman koran kita. Pernah ada sebuah headline koran berjudul “Mega Kalah Banjir Darah”, yang amat bernuansa provokatif. Kata-kata seperti ini disebarkan oleh media massa kepada publik, merasuki alam pikiran manusia, menjejalkan pengetahuan (yang seringkali tak sesuai kenyataannya), dan membentuk opini. Pada ujungnya, apa yang dibaca di media massa mempengaruhi perilaku khalayaknya. Di masa Pemilu dan Pilkada, perilaku menjadi tindakan memberikan suara (mencoblos), atau tidak memberikan (GolPut).

11 tahun setelah era Reformasi, media mulai belajar dari banyak kesalahannya (kejanggalan dan kekeliruan bahasa, pelanggaran etika jurnalistik). Saat ini media massa, khususnya cetak, semakin matang, dewasa, bijaksana dalam memilih kata-kata. Ada sedikit tersisa kekeliruan, seperti penggunaan kata “bodoh/dungu” untuk menjuluki seseorang atau suatu institusi. Dalam kasus Bersihar Lubis (penulis) vs Kejaksaan Agung (di kasus pemusnahan buku-buku sejarah), Kejaksaan Agung menggugat penulis karena penghinaan (penggunaan kata “dungu”). Ahli hukum senior Nono Makarim mengatakan, lembaga resmi negara tak dapat mengadukan kasus penghinaan atau pencemaran nama baik, karena mereka memang lembaga yang harus disorot. Hanya perorangan di ranah pribadi yang dapat menggunakan hak seperti itu.

Di bulan bahasa yang kita hormati ini, penulis ingin mengajak para pengguna bahasa di dunia media massa: reporter, editor, bahkan narasumber (subyek/obrek pemberitaan) dan khalayak media, untuk menghormati bahasa Indonesia. Mematuhi standar jurnalistik “akurasi”, ini tentu termasuk akurasi makna kata. Sangat dianjurkan agar media menggunakan kata yang bermakna akurat, bukan yang memiliki makna konotatif atau makna ganda. Bahasa-bahasa yang berpotensi menyesatkan (dikelirumaknai) berada di wilayah stereotyping (peng-generalisasi-an), labelling (pemberian label), stigmatization (memberi stempel).

Bila kata “dungu” bisa berujung pada libel suit (gugatan pidana), kata “Islam anarkis” atau “santri teroris” dapat menimbulkan kemarahan dan amuk yang tak berkesudahan.

Sirikit Syah (www.sirikitsyah.wordpress.com – @sirikitsyah)
Oktober 2011   

Tentang LKM Media Watch
Mass media are watchdogs. But who watch the media? Let's do it together. Watch this very powerful entity, for better journalism, better Indonesia, better world. http://www.sirikitsyah.wordpress.com

Tinggalkan komentar