Pers Indonesia, Mlintir dan Njomplang?

Sirikit Syah 

                Kasihan pers Indonesia era reformasi. Baru bebas, sudah banyak diawasi oleh media watch yang bertumbuhan bagai jamur di musim hujan. Baru bebas, sudah dituduh kebablasan oleh anggota DPR RI sehingga UU Pers No 40 tahun 1999 diusulkan untuk direvisi. Baru bebas, sudah dimusuhi oleh para kepala negara, yang sebelum menjadi kepala negara adalah ‘sahabat baik’ pers reformasi.

                Kalau Gus Dur menganggap ‘pers suka mlintir omongan saya’, maka Megawati menuduh pers ‘njomplang’. Sebetulnya nara sumber boleh saja merasa tidak puas atas pelayanan media, bahkan mereka juga boleh complaint sampai menggunakan Hak Jawab ataupun membawa mass media ke pengadilan. Tetapi yang dilakukan para kepala negara belakangan ini kurang ‘fair’ terhadap media. Tidak jelas benar apa yang dikeluhkan, tetapi mereka mengeluarkan statement yang berpotensi membingungkan rakyat dan dapat menurunkan kepercayaan rakyat kepada media massa.

                Apa yang dimaksud Gus Dur dengan mlintir dan Megawati dengan njomplang? Seharusnya itu dijelaskan lebih terinci. Bill Clinton tidak pernah menuduh atau mengecam media massa –setelah dia dijadikan bulan-bulanan atas kasus Monica Lewinsky—karena dia paham betul apa yang dia lakukan keliru dan mass media bertugas melaporkannya. Seorang Kanselir Jerman baru-baru ini mengadukan pers ke pengadilan karena tulisan tentang cat rambutnya dan kehidupan seksnya yang diungkap media massa tidak benar. Pengadilan memenangkannya. Jadi, ukuran-ukuran keluhan jelas dan dapat diselesaikan. Bila nyata-nyata bersalah, lebih baik diam, seperti Bill Clinton.

                Gus Dur mengaku diplintir oleh media massa, karena hanya kutipan omongannya yang kontroversial yang diekspos media. KH Hasyim Muzahdi dan para pendukungnya kerap membela Gus Dur dengan mengatakan mass media memotong, memilih, dan menyunting ucapan Gus Dur sehingga maknanya menjadi berubah atau berbeda. Mungkin, inilah penjabaran dari tuduhan ‘mlintir’ tersebut.

Peran Wartawan

                Perlu dipahami oleh semua nara sumber atau calon nara sumber bahwa pers memiliki hak dan kewenangan untuk memilih: memilih nara sumber, memilih frasa, kalimat, atau kata-kata, dari materi wawancara. Bukan karena pers mempunyai vested interest atau hidden agenda (meskipun sebagian ada yang demikian), tetapi memang itulah ‘nature’nya proses kerja pers. Naif sekali mengharapkan pers memuat semua omongan Gus Dur persis seperti yang dikehendaki. Pertama-tama, tentu itu tidak sesuai dengan space (kolom) atau durasi (waktu) yang disediakan oleh media penerbitan atau media siaran. Kalau menghendaki pembicaraan dimuat persis seperti maksudnya, mengapa tidak membeli halaman iklan atau membuat surat kabar sendiri?

                Tentu di antara kita ada yang mengkritik pers telah memilih kutipan-kutipan yang keliru, yang provokatif, yang membuat pembicara tampak bodoh, dan seterusnya. Memang, karena pers memiliki peran yang sangat nentukan, sangat berkuasa, pers bisa memilih apa saja, termasuk memilih yang keliru dan merusak masyarakat. Itu sebabnya muncul aliran baru jurnalisme yaitu Jurnalisme Damai, sebuah paham jurnalisme yang mengingatkan kembali pers bahwa mereka memiliki peran: mendamaikan atau memanaskan. Pilihan di tangan mereka. Banyak pihak pesimis ‘Kalau para elit tidak damai, rakyat tawuran terus, bagaimana bisa ada jurnalisme damai?’.

Jurnalisme damai adalah hal yang mungkin, sama mungkinnya dengan adanya peran wartawan/pers. Jurnalis damai akan memilih tokoh yang tidak provokatif sebagai nara sumbernya, atau bahkan tidak memilih nara sumber di kalangan elit sama sekali; melainkan dari kalangan akar rumput, para pelaku, para korban, penduduk setempat, atau saksi mata. Di antara mereka mungkin ada upaya-upaya damai yang tidak pernah diangkat ke permukaan oleh media massa umumnya. Jurnalis damai juga memilih kata atau bahasa yang benar dan damai. Jurnalis damai paham betul bahwa tidak semua pembunuhan dapat disebut pembantaian atau pemusnahan etnis, dan tidak semua pembunuh itu sadis. Jurnalis damai akan memilih pendeta yang gerejanya di bom yang mengatakan “semoga Tuhan mengampuni dan menyadarkan pelakunya”, daripada pendeta yang mengatakan “umat Kristiani akan membalas dendam”.

                Maka, sah-sah saja bila pers memilih kalimat Gus Dur yang mana yang hendak diangkatnya. Oleh sebab itu, satu-satunya cara menghindari plintiran pers adalah: berbicaralah yang baik dan benar. Terutama para pemimpin, tokoh politik, wakil rakyat. Kalau perlu, ketika moncong kamera dan microphone mendesak ke wajahnya, bicaralah satu atau dua kalimat saja. Dijamin pasti hanya itu yang keluar di media massa. Pers tak punya pilihan lain. Tak ada yang dapat diedit. Bicaralah efisien, dan mudah-mudahan efektif. Semakin banyak nara sumber berbicara, semakin besar peluang media melakukan bias dalam proses pemilihan/penyuntingan. Sayangnya, di Indonesia, nara sumber suka sekali dieskpos media massa sehingga seringkali mereka berbicara lebih dari seperlunya.

Njomplang?

                Megawati lain lagi. Pada waktu pers memuat para korban banjir Jakarta, dia mengatakan pers melebih-lebihkan. Pada waktu kasus TKI terdampar dan terlantar di Nunukan lalu pers menanyainya sebagai kepala negara, dia mengatakan: ‘Itu bukan pertanyaan para TKI, itu pertanyaan wartawan.” Kini dia merasa diperlakukan tidak adil oleh pers. Sayang, sebagaimana biasa, Megawati tidak menjelaskan apa ukuran dan kriteria ‘njomplang’. Ini dapat menimbulkan ketidakpercayaan publik pada pers Indonesia.

                Bila ditinjau dari segi bahasa, bahasa Jawa njomplang itu artinya tidak seimbang atau berat sebelah. Dalam bahasa jurnalistik ini bisa diartikan tidak fair, tidak balanced atau one-sided. Ini umum dipergunakan dalam kasus kontradiksi atau kontroversi yang melibatkan dua pihak yang bertentangan. Sebagian masyarakat akan mengira njomplang juga berarti tidak obyektif. Sesungguhnya, obyektif secara jurnalistik itu artinya ‘apa adanya’, tidak dilebih-lebihkan atau dikurangi. Kalau di era Orde Baru kenyataannya lebih banyak kampanye Golkar daripada partai lainnya lalu TVRI menayangkan peristiwa kampanye Golkar lebih dari 70%, itu bisa dikatakan obyektif karena kenyataannya memang demikian. Sebaliknya, pemberitaan berlebihan televisi swasta nasional tentang anti UU Penyiaran boleh dikata tidak obyektif karena kecil sekali jumlah rakyat yang terlibat dalam aksi anti UU Penyiaran (yang demo kebanyakan orang televisi sendiri).

Kalau sekarang kenyataan di lapangan lebih banyak massa protes BBM dibanding massa pro Mega dan itulah yang ditampilkan media massa, lucu bila media kemudian dituduh njomplang. Bila yang dimaksud Megawati njomplang adalah tidak seimbang, pertanyaannya, bagaimana bisa seimbang bila dia sendiri tidak mau bicara? Dalam kasus maraknya demonstrasi anti kenaikan BBM, TDL (Tarif Dasar Listrik), dan telepon, pers cukup menyuarakan orang-orang Megawati, bahkan termasuk ketika mereka berusaha membelokkan persoalan ke tuduhan-tuduhan bahwa para demonstran telah ditunggangi.

                Pada masa pemerintahan Gus Dur, seringkali terjadi friksi antara Presiden dan Pers. Bahkan pertemuan para Pemred dengan Presiden di Utan Kayu diwarnai perdebatan sengit. Bagaimanapun, Gus Dur masih berbicara dengan para demonstran dan masih bersedia bertatapmuka dan berdialog dengan kalangan pers. Terjadi komunikasi. Dan tak ada pembredelan atau pelarangan.

                Sebaiknya Megawati dan para orang dekatnya menjelaskan ukuran dan kriteria njomplang yang dituduhkan pada pers Indonesia. Naif sekali bila menghendaki pers tak lagi menyoroti dia karena dia telah berkuasa dan dulunya adalah primadona pers Indonesia semasa masih menjadi korban. Menjadi sorotan pers adalah salah satu, hanya sebagian kecil, dari konsekuensi menjadi kepala negara. Bila tidak siap disoroti, jangan menjadi kepala negara, atau jadilah kepala negara yang baik. Itu saja.

Surabaya, 2002


Tentang LKM Media Watch
Mass media are watchdogs. But who watch the media? Let's do it together. Watch this very powerful entity, for better journalism, better Indonesia, better world. http://www.sirikitsyah.wordpress.com

Tinggalkan komentar