Benarkah terjadi pencemaran nama baik?

Laju kemenangan Partai Demokrat dalam perolehan suara pileg saat ini rupanya punya andil dalam membungkam isu dugaan pencemaran nama baik terhadap putra SBY, Edhie Baskoro Yudoyono. Namun bila isu ini diabaikan begitu saja, rasanya kurang adil bagi konsumen media yang terlanjur dipaksa mencicipi informasi tersebut, sesaat sebelum pileg dilakukan pekan lalu.

Mula-mula ditemukan amplop-amplop berisi uang Rp 10 ribu plus foto dan kartu nama Edhie Baskoro di daerah pemilihan Ponorogo, tempat dia dicalonkan. Yang melaporkan seorang yang ’kebetulan’ anggota Partai Gerindra (saya katakan ’kebetulan’ karena bisa saja yang melapor orang lain yang tidak berafiliasi pada partai manapun). Laporan ini dimuat oleh Harian Bangsa dan The Jakarta Globe, lalu dikutip oleh okezone.com.

Benar atau tidak laporan itu, aparat kepolisian bereaksi berlebihan. Tak cukup Kapolda Jatim, bahkan Kapolri-pun ikut bersuara. Upaya pembelaan membabi-buta pada Edhie Yudoyono tampak begitu vulgar. Dari segi substansi perkara, ini mestinya masih dalam penyidikan di tingkat Polsekta atau Polres. Logika saya mengatakan, pelapor tidak mungkin mengambil risiko dengan mengarang laporan, mengingat yang dilaporkan adalah seseorang yang memiliki jaringan pengaruh amat besar. Namun logika saya juga mengatakan, sulit dipercaya seorang Edhie Yudoyono, yang ayahnya dikenal sebagai pemberantas korupsi, melakukan tindakan money politics sevulgar itu.

Mencari hubungan dua hal ’tidak mungkin’ tersebut di atas, logika saya menyimpulkan: ada pihak ketiga, dan terselubung, yang sedang memainkan lakon ini. Yang terjebak adalah Demokrat dan Gerindra. Pemain terselubung ini membagi amplop uang dengan menaruh identitas Edhie Yudoyono ke dalamnya. Targetnya: pencemaran nama baik, pendiskreditan, penggembosan suara. Namun pemain siluman ini menggunakan tangan orang lain (anggota Partai Gerindra) untuk menjalankan siasatnya.

Terlepas dari kebenaran dugaan pencemaran nama baik yang harus dibuktikan dan mesti diselidiki terlebih dahulu oleh polisi, ada preseden yang amat mengganggu dalam praktik media. Okezone langsung meralat beritanya dengan permohonan maaf kepada Presiden SBY dan Partai Demokrat, tetapi tidak kepada publik (konsumen media)nya yang terlanjur mengunyah kabar ’palsu’ itu. Banyak orang menduga, ada tekanan dari pemerintah/Demokrat di ruang redaksi okezone.com.

Selain meralat dan minta maaf pada SBY, okezone.com juga menyebut berita yang dikutipnya dari The Jakarta Globe.com itu sebagai tidak seimbang. Sangat tidak patut bila satu praktisi media mengecam praktisi media lainnya, terutama bila pengecam telah mengutip (mencuplik) berita dari yang dikecam. Ini pelanggaran tata krama sopan santun, dan berpotensi pelanggaran etika & hukum media.

Menambah keruwetan persoalannya di ranah media, polisi menyatakan tiga orang pemimpin redaksi (Okezone, The Jakarta Globe, Harian Bangsa) sebagai tersangka pencemaran nama baik. Padahal, bila ada kesalahan fakta pemberitaan, penanggungjawab utama adalah sumber informasi (narasumber). Media baru bisa diseret bila menyembunyikan identitas sumber (menggunakan Hak Tolak), karena media bisa dianggap ’mengarang’. Dalam kasus Edhie Yudoyono ini, media yang terlibat menyebut narasumbernya dengan jelas.

Dampak dari diseretnya pemred media sebagai tersangka pencemaran nama baik ini amat mencemaskan. Ini mengulang masa kepemimpinan Megawati, saat beberapa pemred media massa (di antaranya pemred Rakyat Merdeka) dipenjarakan karena dianggap menghina kepala negara (Delik Pers dalam KUHP). Ini juga mengingatkan kita pada pelaporan penulis Bersihar Lubis oleh Kejaksaan Tinggi yang merasa terhina oleh julukan ”dungu” dalam tulisan Lubis tentang pembakaran buku-buku pelajaran.

Nono Anwar Makarim, mantan pemred Harian Kami dan ahli hukum senior di Jakarta, mengatakan bahwa untuk kasus pencemaran nama baik atau penghinaan, obyek hukumnya adalah individu. Agak lucu bila kemudian lembaga negara dan instansi ikut-ikutan bisa merasa tersinggung, tercemarkan, atau terhina.

Anggota Dewan Pers Bambang Harimurti juga pernah mengutarakan kecemasannya bila Indonesia tetap menggunakan acuan hukum Belanda, yaitu pembuktian pokok perkara tidak penting, yang penting orang/lembaga terbukti merasa terhina. Maka, meskipun si A benar koruptor, tetapi dia merasa terhina oleh pemberitaan pers, hukum di Indonesia bisa memenangkan perkaranya. Ini ancaman bagi kebebasan pers. Ini yang bisa terjadi dalam aksus Edhie Yudoyono. Melakukan money politics atau tidak, bila dia merasa dicemarkan namanya oleh media, media bisa dihukum.

Bagi kita para pengkonsumsi informasi di media massa, sekali lagi kita akan dibuat jengkel dengan tidak dilanjutkannya isu Edhie Yudoyono ini. Kita tak akan pernah tahu, benarkah dia melakukan money politics? Kalau tidak, siapa yang memfitnahnya? Apakah Demokrat sudah melupakan dan memaafkan, karena saat ini menang suara? Wallahu alam bisawab.

Sirikit Syah.
Surabaya, 13 April 2009

Tentang LKM Media Watch
Mass media are watchdogs. But who watch the media? Let's do it together. Watch this very powerful entity, for better journalism, better Indonesia, better world. http://www.sirikitsyah.wordpress.com

Tinggalkan komentar