Televisi Kita Menyiarkan Adegan Porno

 Sirikit Syah

Dalam dua pekan belakangan ini, yang saya tunggu-tunggu dilakukan oleh Presiden SBY atau Ketua Golkar JK adalah pemecatan atau recalling anggota DPR yang melakukan skandal seks. Itu tak terjadi. Yang terjadi, YZ akhirnya mundur dengan sendirinya. Yang kedua saya tunggu adalah pernyataan keras Presiden SBY, Menkominfo Sofyan Djalil, atau KPI Pusat, untuk menghentikan penayangan video porno YZ-ME di layar televisi. Itupun tak pernah terjadi. Video porno itu tayang terus setiap hari, dari pagi sampai malam hari, di berita resmi maupun kabar infotainment, di semua saluran televisi kita.

Mengherankan, KPI bersuara lantang untuk penghentian siaran program Smack Down di Lativi, namun tak sedikitpun seruan pada penayangan video porno kasus YZ-ME. Padahal, penayangan video porno itu tak cuma mencemarkan nama baik pelaku video yang menghebohkan itu, tetapi juga merusak masa depan anak-anak yang tak berdosa, serta menimbulkan perasaan tidak nyaman pemirsa televisi di rumah, yang menonton dengan anak-anaknya yang masih di bawah usia remaja. Tentu saja ada pemirsa televisi yang tak keberatan, malah menikmati tontonan itu, yaitu golongan manusia yang suka melihat aib orang lain dibuka di hadapan publik, sebagai hiburan.

Sebagai tokoh publik, YZ memang patut mendapatkan ekspose sedemikian rupa, agar rakyat tahu. Dalam kelas saya Media Ethics & Law di Pasca Komunikasi Unair, mahasiswa terpecah dalam dua kelompok. Yang satu mengatakan setuju penayangan terus menerus –apapun risikonya, termasuk ketidaknyamanan keluarga pemirsa televisi- karena fungsi kontrol sosial harus dilakukan oleh media massa terhadap tokoh publik. Rakyat harus dan berhak tahu.

Satu kelompok lain mengatakan, fungsi kontrol sosial sudah dijalankan dengan sangat baik oleh media, namun menjadi kebablasan. Mereka tidak nyaman menonton video porno itu pada berita pagi, siang, sore, hingga malam. Kadang-kadang anak atau adik mereka bertanya tentang adegan mesum video itu. Menurut saya, pemberitaan secara naratif, plus penayangan videonya dengan frekuensi dan durasi tidak berlebihan, cukup untuk menghukum YZ. Seandainya Presiden SBY cepat merespon kasus ini, statiun televisi tak akan berlama-lama menayangkannya. YZ di-recall atau dipecat, KPI mengimbau penghentian tayangan video mesumnya, selesai. Sayang, justru itu tidak terjadi.

Perilaku Televisi

Ketika ada korban tewas atau luka yang menyebut ”karena mempraktikkan Smack Down”, tiba-tiba semua kecelakaan akibat perkelahian anak-anak disebut ”akibat Smack Down”. Istilah ”akibat Smack Down” itu bisa dikatakan oleh orangtua, petugas rumah sakit, guru, bahkan diciptakan oleh media yang melaporkan berita tersebut.

KPI yang mengatasnamakan publik pemirsa kemudian menyerukan penghentian tayangan tersebut. Lativi, meski sempat berargumentasi, akhirnya besedia patuh, dan mengorbankan kontrak penayangan SD yang mestinya berlangsung hingga 2008. Masyarakat dan KPI lupa menghaturkan terimakasih atas perilaku terpuji Lativi, menganggapnya sudah seharusnya.

Padahal, bila ditilik dari pasal-pasal dalam UU Penyiaran dan Pedoman Perilaku Penyiaran & Standar Program Siaran, tak ada satupun kesalahan Lativi. Lativi teah menempatkan program itu pada jam tayang yang sepatutnya. Para tokoh masyarakat juga lupa menyadarkan publik bahwa kebebasan pers yang lama kita idamkan dan sekarang kita nikmati itu bukan hanya hak, melainkan juga konsekuensi dan tanggungjawab. Adalah perilaku yang kurang bertanggungjawab di antara para orangtua yang membiarkan anak-anaknya menonton program orang dewasa pada malam hari, dan bagi para guru yang lalai sehingga murid-muridnya berkelahi hingga patah tulang atau tewas di dan pada jam sekolah.

KPI juga gagal melarang penayangan content acara dewasa yang menelusup ke dalam program-program anak-anak dan remaja. Sinetron berlabel Semua Umur misalnya, mengandung muatan pembenaran atau pembiaran seks bebas, hamil di luar pernikahan, tawuran, durhaka pada orangtua, culas dan licik pada teman, dan berbagai perilaku anti sosial dan anti moral lainnya. Program-program ini aman-aman saja dikonsumsi oleh Semua Umur. Ini lebih ”mengkorupsi” pikiran dan gaya hidup bangsa daripada program Smack Down yang jelas ditujukan untuk pemirsa dewasa.

Pasal-pasal Seks di PPP-SPS

Lebih dari sekadar penyebaran aib seseorang, penayangan video porno skandal DPR itu melanggar banyak pasal PPP-SPS. Maka, sangat mengherankan bila KPI diam saja, tidak membunyikan peluitnya. Menteri Kominfo bahkan Presiden juga tidak sadar bahwa adegan mesum itu telah memasuki rumah-rumah kita secara gratis, masuk ruang tidur, ruang makan, dan ruang belajar anak-anak kita, setiap waktu, setiap hari. Bila negara ingin dijaga dari dekadensi moral, bila bangsa harus diselamatkan dari ancaman ketidakstabilan, penayangan video porno secara bebas di layar televisi kita ini jauh lebih berbahaya daripada perkawinan kedua Aa Gym.

YZ sudah mundur, Presiden tak sempat memecatnya dan Ketua Golkar (Wapres) tak sempat me-recallnya. Mungkin keduanya asyik menikmati video porno di TV dan mengalihkan perhatian publik ke perkawinan Aa Gym. Sofyan Jalil, seperti biasa dan dapat diduga, akan angkat tangan dan angkat bahu: ”Pemerintah tak punya kewenangan menyensor lagi. Semua di tangan KPI.” KPI? Entah. Saya masih heran KPI tidak melarang tayangan video porno itu.

Desember 2006

Tentang LKM Media Watch
Mass media are watchdogs. But who watch the media? Let's do it together. Watch this very powerful entity, for better journalism, better Indonesia, better world. http://www.sirikitsyah.wordpress.com

Tinggalkan komentar